28.7 C
Denpasar
Sunday, April 2, 2023

Bekerja Angkut Air Demi Beli Paket Internet Untuk Anak

GIANYAR, BALI EXPRESS – Nestapa dialami oleh pasangan tuna netra di Banjar Saba, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar ini. Di tengah situasi yang sulit akibat pandemi Covid-19, mereka harus berjuang demi membelikan paket internet untuk putra semata wayangnya.

Pagi itu seperti biasa I Wayan Warka, 54, bangun pagi dan mempersiapkan diri untuk bekerja. Sebab meskipun memiliki keterbatasan fisik, namun Warka tetap semangat agar bisa menghidupi istri dan anaknya. Setiap harinya Warka bekerja mengangkut air dari kelebutan (sumber mata air,Red) yang ada didekat rumahnya untuk kemudian disalurkan ke rumah-rumah warga yang membutuhkan. “Saya masih bisa lihat samar-samar, jadi masih bisa bekerja, ya tapi bekerjanya seperti ini,” ujarnya saat ditemui dikediamannya Rabu (4/8).

 

Mirisnya, pekerjaan itu ia lakukan dengan cara yang sangat sederhana, yakni mengangkut air dengan ember. Ember yang terisi penuh dengan air kemudian dijunjung. Tidak bisa dibayangkan apabila rumah warga tersebut jauh dari kelebutan. Kendatipun demikian, Warka tetap semangat, karena dari rutinitas itulah ia mendapatkan upah. Dalam sehari Warka bisa mengangkut air 7 kali. “Upahnya sukarela, mulai dari Rp 3.000 sampai Rp 5.000, kalau ada yang memberi Rp 50.000 ya saya ambil. Saya sebenarnya ingin bekerja lain tapi karena keterbatasan ya bagaimana lagi, begini kondisi kami” ungkapnya.

Baca Juga :  Gara - Gara Ulah Teman, Seorang Waitress Mendekam di Penjara

 

Sedangkan sang istri, Ni Made Tangen, 45, yang juga seorang tuna netra kesehariannya diisi dengan membuat canang, porosan dan lengis miik untuk dijual. “Hasil dari jarit busung (janur,Red) sehari cuma dapat Rp 5.000 sampai Rp 10.000,” sambungnya.

 

Menurutnya rutinitas itu mereka lakoni untuk bisa bertahan hidup. Terlebih putra semata wayang mereka, I Wayan Widiasa, 10 , yang terlahir normal saat ini duduk di bangku kelas V SD, harus mengikuti pembelajaran daring. Sehingga membutuhkan biaya untuk membeli paket internet. “Kebetulan untuk HP dulu saya dapat saat sekolah di Panti Mahatmiya Tabanan. Jadi uang hasil bekerja selain untuk makan juga untuk beli paket internet,” imbuhnya.

 

Meskipun terkadang, tetangga di sebelah rumahnya juga memberikan wifi gratis dan dari sekolah juga memberikan paket internet 10 GB setiap bulan. “Kalau beberapa bulan belakangan ini tidak dapat lagi, jadi harus beli paket internet. Kadang sepupunya yang SMP sering mengajari buat tugas,” imbuh Warka.

Baca Juga :  Hapus Kebiasaan Serba Beli, WHDI Gelar Pelatihan Banten

 

Disamping itu, putranya yang merupakan siswa SDN 3 Saba itu tidak bisa mengkonsumsi nasi. Sehingga setiap harinya ia harus membelikan kentang untuk makan anaknya. “Dari kecil memang tidak mau makan nasi, dulu sempat mau makan titisan (bubur setengah matang,Red) tapi semakin besar dia tidak mau makan nasi, jadi lebih sering makan kentang, jagung, pisang hijau. Ini cukup berat, sedangkan sehari penghasilan kami tidak sampai Rp 50.000,” sebutnya.

 

Sementara itu, putra Warka, Widiasa mengaku memiliki cita-cita menjadi polisi. Sehingga ia belajar dengan giat dan rajin membantu ibunya membuat jaritan dari janur. “Sehari-hari bantu ibu bikin jaritan, dan belajar online,” ujarnya lugu.

 

Sering kali ia dibantu oleh kakak sepupunya yang SMP untuk membuat tugas, sebab kedua orang tuanya tidak bisa mengajarinya. Maklum saja sang ayah penglihatannya kabur dan ibunya memang tidak bisa melihat sejak lahir. “Kata bapak harus tetap semangat,” pungkasnya.


GIANYAR, BALI EXPRESS – Nestapa dialami oleh pasangan tuna netra di Banjar Saba, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar ini. Di tengah situasi yang sulit akibat pandemi Covid-19, mereka harus berjuang demi membelikan paket internet untuk putra semata wayangnya.

Pagi itu seperti biasa I Wayan Warka, 54, bangun pagi dan mempersiapkan diri untuk bekerja. Sebab meskipun memiliki keterbatasan fisik, namun Warka tetap semangat agar bisa menghidupi istri dan anaknya. Setiap harinya Warka bekerja mengangkut air dari kelebutan (sumber mata air,Red) yang ada didekat rumahnya untuk kemudian disalurkan ke rumah-rumah warga yang membutuhkan. “Saya masih bisa lihat samar-samar, jadi masih bisa bekerja, ya tapi bekerjanya seperti ini,” ujarnya saat ditemui dikediamannya Rabu (4/8).

 

Mirisnya, pekerjaan itu ia lakukan dengan cara yang sangat sederhana, yakni mengangkut air dengan ember. Ember yang terisi penuh dengan air kemudian dijunjung. Tidak bisa dibayangkan apabila rumah warga tersebut jauh dari kelebutan. Kendatipun demikian, Warka tetap semangat, karena dari rutinitas itulah ia mendapatkan upah. Dalam sehari Warka bisa mengangkut air 7 kali. “Upahnya sukarela, mulai dari Rp 3.000 sampai Rp 5.000, kalau ada yang memberi Rp 50.000 ya saya ambil. Saya sebenarnya ingin bekerja lain tapi karena keterbatasan ya bagaimana lagi, begini kondisi kami” ungkapnya.

Baca Juga :  Kaki Diabetes, Komplikasi Kronis Pada Pasien Diabetes

 

Sedangkan sang istri, Ni Made Tangen, 45, yang juga seorang tuna netra kesehariannya diisi dengan membuat canang, porosan dan lengis miik untuk dijual. “Hasil dari jarit busung (janur,Red) sehari cuma dapat Rp 5.000 sampai Rp 10.000,” sambungnya.

 

Menurutnya rutinitas itu mereka lakoni untuk bisa bertahan hidup. Terlebih putra semata wayang mereka, I Wayan Widiasa, 10 , yang terlahir normal saat ini duduk di bangku kelas V SD, harus mengikuti pembelajaran daring. Sehingga membutuhkan biaya untuk membeli paket internet. “Kebetulan untuk HP dulu saya dapat saat sekolah di Panti Mahatmiya Tabanan. Jadi uang hasil bekerja selain untuk makan juga untuk beli paket internet,” imbuhnya.

 

Meskipun terkadang, tetangga di sebelah rumahnya juga memberikan wifi gratis dan dari sekolah juga memberikan paket internet 10 GB setiap bulan. “Kalau beberapa bulan belakangan ini tidak dapat lagi, jadi harus beli paket internet. Kadang sepupunya yang SMP sering mengajari buat tugas,” imbuh Warka.

Baca Juga :  Dilarang Ngaben, Kamar Jenazah RS Sanjiwani Overload

 

Disamping itu, putranya yang merupakan siswa SDN 3 Saba itu tidak bisa mengkonsumsi nasi. Sehingga setiap harinya ia harus membelikan kentang untuk makan anaknya. “Dari kecil memang tidak mau makan nasi, dulu sempat mau makan titisan (bubur setengah matang,Red) tapi semakin besar dia tidak mau makan nasi, jadi lebih sering makan kentang, jagung, pisang hijau. Ini cukup berat, sedangkan sehari penghasilan kami tidak sampai Rp 50.000,” sebutnya.

 

Sementara itu, putra Warka, Widiasa mengaku memiliki cita-cita menjadi polisi. Sehingga ia belajar dengan giat dan rajin membantu ibunya membuat jaritan dari janur. “Sehari-hari bantu ibu bikin jaritan, dan belajar online,” ujarnya lugu.

 

Sering kali ia dibantu oleh kakak sepupunya yang SMP untuk membuat tugas, sebab kedua orang tuanya tidak bisa mengajarinya. Maklum saja sang ayah penglihatannya kabur dan ibunya memang tidak bisa melihat sejak lahir. “Kata bapak harus tetap semangat,” pungkasnya.


Most Read

Artikel Terbaru