DENPASAR, BALI EXPRESS – Di bawah teriknya sinar matahari, perempuan berkaos biru dan bertopi jerami itu menuntun satu per satu kendaraan yang hendak keluar-masuk parkiran toko. Suara peluitnya melengking seolah hendak mengalahkan deruman kendaraan di jalan. Kadek Rita, si juru parkir cantik itu, dengan gagah memecah keramaian jalan agar kendaraan yang dituntunnya bisa menyeberang. Tubuhnya yang mungil, seolah tak takut berhadapan dengan kendaraan-kendaraan besar yang berlalu-lalang.
“Saya sudah tiga setengah bulan bekerja sebagai juru parkir di sini,” ujar Kadek Rita saat diwawancara di sela-sela waktunya bekerja di wilayah Gatot Subroto Timur, Rabu (7/7).
Kadek Rita menceritakan alasannya sebagai juru parkir untuk menggantikan peran suaminya mencari nafkah. Pekerjaan itu ia lakoni karena sang suami sudah 7 bulan tidak bisa bekerja karena tumor yang diidapnya. Sebelum bekerja sebagai juru parkir, Kadek Rita bekerja di salah satu garmen di wilayah Canggu. Ia pun memutuskan untuk keluar dari kerjaan itu dan menggantikan sang suami sebagai juru parkir.
“Suami saya kena tumor di hidung dan menjalar ke matanya. Sudah dari Maret lalu tidak bisa melihat. Jadi saya menggantikan posisinya daripada diambil orang lain, lagi pula (jam kerjanya, Red) hanya sebentar. Suami awalnya tidak tega, tapi saya tetap jalani,” jelas perempuan asli Karangasem ini.
Saat ini suaminya masih dalam proses pengobatan, dan agar dapat membayar biaya pengobatannya, Kadek Rita mesti getol bekerja. “Sekarang masih tidak bisa melihat. Sudah berobat herbal dan terapi, sudah dijadwalkan operasi akhir Juli atau pertengahan Agustus,” katanya yang sekarang berdomisili di Denpasar.
Selain sang suami, perempuan berusia 31 tahun itu juga bekerja untuk menghidupi dua orang anak dan satu mertua. Dengan pekerjaan sebagai juru parkir, Kadek Rita hanya mampu mengantongi Rp 800 ribu sampai Rp 850 ribu sebulannya. Jelas, gaji itu tidak cukup untuk menutup biaya hidupnya sekeluarga. “Sebenarnya kurang, tapi saya berusaha cukup-cukupi saja. Biasanya saya juga dapat lebihnya kalau target harian tercapai, jadi dengan uang lebih sehari-hari itu saya kumpulkan, gunakan untuk biaya berobat suami saya, jajan anak-anak, dan untuk makan,” tuturnya.
Kadek Rita mengaku tidak malu karena harus bekerja sebagai juru parkir. Ia justru hanya merasa canggung dan bingung ketika mulai mengambil alih kerja suaminya. “Karena tidak tahu arah mobil, jadi bingung dan takut. Lalu diajari suami gimana caranya mengatur kendaraan,” katanya. “Malu tidak, karena waktu Maret lalu sedih lihat anak-anak tidak bisa jajan, bahkan nyari uang Rp 200 saja susah. Jadi saya pikir buanglah gengsi, ngapain juga malu lagian tidak mencuri” imbuhnya.
Bahkan, Kadek Rita pernah disarankan untuk mengganti profesi dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Tapi, dia mempertimbangkan, pekerjaan juru parkir untuk saat ini tepat baginya. Pasalnya, selain jam kerja yang singkat, Kadek Rita bisa segera pulang ke rumah jika ada hal mendesak karena lokasinya bekerja dekat dengan kediamannya.
Memang, diakuinya, panasnya terik matahari tak bisa ditawar. Apalagi Kadek Rita mendapat shift siang, yakni di antara pukul 13.00 sampai 18.00 Wita. Kendati demikian, Kadek Rita mengaku sudah terbiasa berpanas-panas ria. “Pernah sih saat lagi ngedrop saya merasa capek, tapi dijalani saja toh hanya 5 jam cepat. Pernah sampai haus banget, pengen ke kamar kecil tapi takut ditinggal karena lumayan bisa hilang Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu apalagi pas sedang ramainya sekitar pukul 16.00 sampai 18.00 Wita,” bebernya.
Dia mengenang, banyak dari pengendara itu yang mengira dia adalah laki-laki. Dan setelah tahu yang sebenarnya, tidak sedikit yang berusaha menggodanya. Bahkan ada yang sampai bolak-balik parkir hanya untuk menggodanya. “Banyak banget yang ganggu, bahkan ada yang bilang, jangan jadi juru parkir, jadi istri saya saja,” ungkapnya.
Sambil mengatur parkir, Kadek Rita mengungkapkan, pekerjaannya tidak ada hari libur. Menurutnya, kalau dia tidak bekerja, otomatis tidak bisa makan. “Tidak ada libur, kerja setiap hari karena tokonya kan buka setiap hari. Kalau ada renovasi dan sejenisnya baru libur, kecuali minta libur,” katanya.
Tentu, suka-duka dialaminya selama bekerja sebagai juru parkir. Sukanya, karena ia perempuan, terkadang pengendara membayar lebih untuk biaya parkir. Sedangkan dukanya, beberapa pengendara, setelah dibantu justru tidak membayar sama sekali. Bahkan, ada yang melempar uangnya begitu saja ke jalanan. “Mungkin mereka buru-buru atau bagaimana, jadi uangnya dilempar. Ya sudahlah saya pungutin kalau di jalan lagi sepi, kalau masih ramai tak biarin,” ucapnya.
Tak hanya suaminya, Kadek Rita juga menderita gangguan pernapasan. Terkadang saat malam, ia mesti mengonsumsi obat agar esok siangnya bisa tetap bekerja. Sering kali, karena aktivitas meniup peluit secara terus-menerus, dirinya sampai ngos-ngosan. “Rasanya sesak sampai ngos-ngosan, tapi saya ingat motivasi saya untuk kesehatan suami dan sekolah anak-anak,” tuturnya. “Saya berharap ada donator atau relawan yang bisa membantu suami saya. Kalau untuk anak-anak saya pelan-pelan saya perjuangkan,” tutupnya.(ika)