26.5 C
Denpasar
Monday, June 5, 2023

Kuliner Ular dan Biawak di Peguyangan, Diyakini Bisa Tingkatkan Libido

Sebagian masyarakat awam masih phobia atau takut berlebihan dengan Alu (Biawak) dan juga ular. Dua hewan berdarah dingin, ini lebih baik dihindari, ketimbang terjadi sesuatu hal yang tidak dinginkan. Jangankan bertemu, memakannya saja orang masih harus pikir-pikir. Tapi, di tangan Tri Ari Sutrisna, 37, asal Banjar Dualang, Desa Peguyangan Kaja, Denpasar Utara, dua hewan ini justru menghasilkan cuan dengan diolah menjadi kuliner yang kaya akan protein.

 

 

DEWA KRISNA PRADIPTA, Denpasar

 

 

SAAT Bali Express (Jawa Pos Grup) menemui di kediamannya, sambutan ramah langsung ia berikan. Bahkan, sangat exited ketika menceritakan bisnis kuliner yang masih jarang digeluti banyak orang ini.

 

“Kebetulan saya suka masak. Tahun 2014, yang pertama saya olah itu ular. Ada teman berburu ular, daripada bingung mau diapakan, saya minta kemudian saya jadikan bahan masakan,” ungkap Ari Sutrisna yang karib disapa Tres ini.

 

Namun, bisnisnya baru ia kembangkan di tahun 2017. Ketika itu, ia mendapat kesempatan tampil dalam sebuah event di Gong Perdamaian, Kertalangu, Denpasar, Bali. Dan ya, menu yang ia sajikan di event itu adalah ular serta biawak.

 

“Saya pakai nama Podjok 87. Kebetulan saya dapat tenda paling pojok, ya sudah saya pakai nama itu saja. Kalau angka 87 itu mengacu dari nama perkumpulan anjing pitbull yang saya ikuti,” imbuhnya.

 

Reaksi konsumen? “Ya sudah jelas kagok. Itu eventnya empat harian. Hari pertama itu gak ada yang beli, malah banyak yang bertanya saja, ini masakan apa,” sambungnya.

 

Tapi, Tres tak patah semangat. Di hari pertama, ia prioritaskan untuk mengedukasi calon pembelinya. Ular dan biawak yang masih dianalogikan sebagai hewan berbahaya oleh masyarakat awam, ia paparkan bahwa memang enak untuk dikonsumsi. Bahkan, salah satu sumber protein hewani. Bahkan, tak perlu keahlian khusus untuk mengolahnya.

Baca Juga :  Kisah Kakak Beradik Disabilitas, Putu Agus Setiawan dan Kadek Windari

“Hari kedua, baru ada yang beli,” imbuhnya.

 

Dari pengalaman itu, barulah Tres berani menyewa sebuah kios di Jalan Setiabudi, Denpasar. Pelanggannya juga sudah lumayan banyak, tapi begitu, hanya segelintir orang saja yang menjadikan olahan dua reptil ini menjadi salah satu makanan favorit. Tapi, dalam berbagai event, Tres sering diundang seperti Kuta Karnival,  Legian Beach Festival, Bali Tattoo Expo dan Reggae Festival.

 

Soal darimana ia mendapat bahannya, Tres mengaku dia lebih banyak membeli hasil buruan teman-temannya. Karena Tres sendiri mengaku tidak suka masuk ke hutan-hutan untuk mencari ular dan biawak ini. Harganya yang ia patok berkisar Rp 40 ribu – Rp 100 ribu, tergantung besar kecilnya ukuran. Dan yang ia tekankan, ular dan biawak yang ia mau beli itu adalah hasil buruan, bukan peliharaan. Jenis ular yang ia inginkan itu kebanyakan jenis piton dan tak mau mengolah ular beracun, karena berisiko.

 

“Kalau untuk ular, jika ukurannya besar dagingnya difillet dan jadikan sate. Jeroan, kepala dan kulitnya saya buang. Kalau ukurannya kecil, langsung dipotong saja karena kalau di fillet, sedikit dapat daging. Jatuhnya jadi ular bakar,” papar ayah 1 putra ini.

 

Lantas untuk biawak, semua jenis ia terima. Sama seperti ular, kepala, jeroan dan kulit biawak tak ia olah. Kalau ukurannya sedang, ia olah mencari rica-rica atau tengkleng, dimana bumbunya lebih dominan pedas.

 

Mengenai harga yang ia patok bervariasi sesuai dimana masakannya ia jajakan. Jika memesan di rumah, harga yang ia bandrol senilai Rp 20 ribu untuk sate. Lalu Rp 25 ribu untuk tengkleng biawak maupun rica-rica piton. Namun, jika mengikuti event, sate ia jual dengan harga Rp 25 ribu dan Rp 35 ribu untuk tengkleng serta rica-rica.

 

“Sebenarnya ini makanan enak, hanya sugesti orang saja yang sudah takut duluan. Padahal teksturnya dan rasanya hampir sama dengan daging yang dikonsumsi sehari-hari. Biawak itu mirip daging kambing, tapi baunya tidak menyengat. Kalau ular, rasanya seperti daging ayam aduan (cundang) dengan tekstur mirip ikan Tuna,” bebernya.

Baca Juga :  Gede Widi Beber Kisah Ikut FTBI, Jetlag Naik Pesawat, Duduk Dekat Menteri

 

Selain itu, manfaat dari olahan hewan ini banyak yang mengatakan untuk obat asma, meningkatkan libido serta penyakit gatal. Mengingat sekarang dalam masa pandemi, Tres memutuskan lebih banyak berjualan pre-order saja dan lebih banyak di rumah. Kalau ada yang memesan, baru ia buat. Pembelinya lebih banyak di seputaran Denpasar Utara, ada juga yang dari Jimbaran dan sekitarnya. Dan tidak setiap hari ia kerjakan, hanya di weekend saja yakni Jumat, Sabtu dan Minggu. Karena disamping bisnis ini, ia memiliki profesi tetap di sebuah industri lighting.

 

“Karena olahan daging ini bukan menjadi makanan pokok sehari-hari. Beda seperti daging ayam atau sapi, makanya olahan dari reptil ini tidak saya fokuskan. Tapi, kalau dari pemasukan memang ada,” jelasnya.

 

Yang menjadi alasan ia senang dengan mengolah makanan ini karena faktor dari keluarganya juga, dimana sang istri berasal dari Manado. Bahkan, dari bumbunya ia kombinaskan antara masakan Manado dengan masakan Bali.“Di sana (Manado) makanan seperti ini sudah lumrah. Kalau disini kan jarang, makanya orang takut duluan untuk mengkonsumsi. Sebenarnya poinnya hanya edukasi saja, bahwa makanan ini aman untuk dikonsumsi. Tapi ya begitu, orangnya sudah takut duluan,” sebut Tres.

 

Disinggung mengenai kelanjutan bisnisnya ini, Tres mengaku hanya dijadikan usaha sampingan saja. Mengingat, pangsa pasarnya masih belum umum, karena itu tadi, makanan ini bukan konsumsi sehari-hari banyak orang.

 

“Karena senang masak saja, anggap lah ini eksotik food atau makanan unik,” tandasnya.

 

 


Sebagian masyarakat awam masih phobia atau takut berlebihan dengan Alu (Biawak) dan juga ular. Dua hewan berdarah dingin, ini lebih baik dihindari, ketimbang terjadi sesuatu hal yang tidak dinginkan. Jangankan bertemu, memakannya saja orang masih harus pikir-pikir. Tapi, di tangan Tri Ari Sutrisna, 37, asal Banjar Dualang, Desa Peguyangan Kaja, Denpasar Utara, dua hewan ini justru menghasilkan cuan dengan diolah menjadi kuliner yang kaya akan protein.

 

 

DEWA KRISNA PRADIPTA, Denpasar

 

 

SAAT Bali Express (Jawa Pos Grup) menemui di kediamannya, sambutan ramah langsung ia berikan. Bahkan, sangat exited ketika menceritakan bisnis kuliner yang masih jarang digeluti banyak orang ini.

 

“Kebetulan saya suka masak. Tahun 2014, yang pertama saya olah itu ular. Ada teman berburu ular, daripada bingung mau diapakan, saya minta kemudian saya jadikan bahan masakan,” ungkap Ari Sutrisna yang karib disapa Tres ini.

 

Namun, bisnisnya baru ia kembangkan di tahun 2017. Ketika itu, ia mendapat kesempatan tampil dalam sebuah event di Gong Perdamaian, Kertalangu, Denpasar, Bali. Dan ya, menu yang ia sajikan di event itu adalah ular serta biawak.

 

“Saya pakai nama Podjok 87. Kebetulan saya dapat tenda paling pojok, ya sudah saya pakai nama itu saja. Kalau angka 87 itu mengacu dari nama perkumpulan anjing pitbull yang saya ikuti,” imbuhnya.

 

Reaksi konsumen? “Ya sudah jelas kagok. Itu eventnya empat harian. Hari pertama itu gak ada yang beli, malah banyak yang bertanya saja, ini masakan apa,” sambungnya.

 

Tapi, Tres tak patah semangat. Di hari pertama, ia prioritaskan untuk mengedukasi calon pembelinya. Ular dan biawak yang masih dianalogikan sebagai hewan berbahaya oleh masyarakat awam, ia paparkan bahwa memang enak untuk dikonsumsi. Bahkan, salah satu sumber protein hewani. Bahkan, tak perlu keahlian khusus untuk mengolahnya.

Baca Juga :  Sura Gambelan Lahir dari Suara Genta Pinara Pitu

“Hari kedua, baru ada yang beli,” imbuhnya.

 

Dari pengalaman itu, barulah Tres berani menyewa sebuah kios di Jalan Setiabudi, Denpasar. Pelanggannya juga sudah lumayan banyak, tapi begitu, hanya segelintir orang saja yang menjadikan olahan dua reptil ini menjadi salah satu makanan favorit. Tapi, dalam berbagai event, Tres sering diundang seperti Kuta Karnival,  Legian Beach Festival, Bali Tattoo Expo dan Reggae Festival.

 

Soal darimana ia mendapat bahannya, Tres mengaku dia lebih banyak membeli hasil buruan teman-temannya. Karena Tres sendiri mengaku tidak suka masuk ke hutan-hutan untuk mencari ular dan biawak ini. Harganya yang ia patok berkisar Rp 40 ribu – Rp 100 ribu, tergantung besar kecilnya ukuran. Dan yang ia tekankan, ular dan biawak yang ia mau beli itu adalah hasil buruan, bukan peliharaan. Jenis ular yang ia inginkan itu kebanyakan jenis piton dan tak mau mengolah ular beracun, karena berisiko.

 

“Kalau untuk ular, jika ukurannya besar dagingnya difillet dan jadikan sate. Jeroan, kepala dan kulitnya saya buang. Kalau ukurannya kecil, langsung dipotong saja karena kalau di fillet, sedikit dapat daging. Jatuhnya jadi ular bakar,” papar ayah 1 putra ini.

 

Lantas untuk biawak, semua jenis ia terima. Sama seperti ular, kepala, jeroan dan kulit biawak tak ia olah. Kalau ukurannya sedang, ia olah mencari rica-rica atau tengkleng, dimana bumbunya lebih dominan pedas.

 

Mengenai harga yang ia patok bervariasi sesuai dimana masakannya ia jajakan. Jika memesan di rumah, harga yang ia bandrol senilai Rp 20 ribu untuk sate. Lalu Rp 25 ribu untuk tengkleng biawak maupun rica-rica piton. Namun, jika mengikuti event, sate ia jual dengan harga Rp 25 ribu dan Rp 35 ribu untuk tengkleng serta rica-rica.

 

“Sebenarnya ini makanan enak, hanya sugesti orang saja yang sudah takut duluan. Padahal teksturnya dan rasanya hampir sama dengan daging yang dikonsumsi sehari-hari. Biawak itu mirip daging kambing, tapi baunya tidak menyengat. Kalau ular, rasanya seperti daging ayam aduan (cundang) dengan tekstur mirip ikan Tuna,” bebernya.

Baca Juga :  Gara-gara Asmara, Seorang Pria Unggah Video Bakar Al Quran, Kok Bisa?

 

Selain itu, manfaat dari olahan hewan ini banyak yang mengatakan untuk obat asma, meningkatkan libido serta penyakit gatal. Mengingat sekarang dalam masa pandemi, Tres memutuskan lebih banyak berjualan pre-order saja dan lebih banyak di rumah. Kalau ada yang memesan, baru ia buat. Pembelinya lebih banyak di seputaran Denpasar Utara, ada juga yang dari Jimbaran dan sekitarnya. Dan tidak setiap hari ia kerjakan, hanya di weekend saja yakni Jumat, Sabtu dan Minggu. Karena disamping bisnis ini, ia memiliki profesi tetap di sebuah industri lighting.

 

“Karena olahan daging ini bukan menjadi makanan pokok sehari-hari. Beda seperti daging ayam atau sapi, makanya olahan dari reptil ini tidak saya fokuskan. Tapi, kalau dari pemasukan memang ada,” jelasnya.

 

Yang menjadi alasan ia senang dengan mengolah makanan ini karena faktor dari keluarganya juga, dimana sang istri berasal dari Manado. Bahkan, dari bumbunya ia kombinaskan antara masakan Manado dengan masakan Bali.“Di sana (Manado) makanan seperti ini sudah lumrah. Kalau disini kan jarang, makanya orang takut duluan untuk mengkonsumsi. Sebenarnya poinnya hanya edukasi saja, bahwa makanan ini aman untuk dikonsumsi. Tapi ya begitu, orangnya sudah takut duluan,” sebut Tres.

 

Disinggung mengenai kelanjutan bisnisnya ini, Tres mengaku hanya dijadikan usaha sampingan saja. Mengingat, pangsa pasarnya masih belum umum, karena itu tadi, makanan ini bukan konsumsi sehari-hari banyak orang.

 

“Karena senang masak saja, anggap lah ini eksotik food atau makanan unik,” tandasnya.

 

 


Most Read

Artikel Terbaru