Pendapatan para pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarbagita Suwung terbilang tidak seberapa. Namun, mereka menghadapi risiko kesehatan hingga potensi kecelakaan di tengah gunungan sampah dan alat berat yang beroperasi.
AGUS SUECA MERTA, Denpasar
MESKI “hanya” sebagai pemulung yang tidak terikat aturan kantor, rupanya mereka juga punya sistem kerja. Sampah-sampah baru yang terus berdatangan menjadi salah satu alasan kenapa mereka bekerja dengan sistem shift. Ada yang mulai pagi. Ada mulai sore. Sunarmi, 40, pemulung yang sudah belasan tahun bekerja sekaligus tinggal di dekat TPA Suwung mengaku biasanya bekerja mulai pukul 17.00 hingga jam 2 pagi dini hari. Terkadang bergiliran dengan suaminya yang bekerja pagi.
Ketika bekerja menjelang gelap hingga dini hari, dia wajib menggunakan senter lengkap dengan sepatu dan sarung tangan. Di saat sebagian besar orang pulang kerja dan mulai istirahat dia mulai bekerja memulung di TPA yang berlokasi di seberang jalan tempat dia tinggal. “Dulu di sini sangat becek mas, jadi mesti sangat hati-hati kalau mau kerja apalagi saat malam,” ujarnya. “Kalau musim hujan, malah bisa banjir sampai masuk kamar,” imbuhnya.
Semenjak pemerintah memperbaiki akses jalan dengan paving dan perbaikan area TPA Suwung, Sunarmi bisa sedikit bernafas lebih lega karena setidaknya dalam bekerja dia tidak seperti dulu waswas akan longsoran bukit sampah yang begitu tinggi. Jalan akses ke TPA yang sudah bagus membuat tidak sejelek dulu kondisinya ketika musim hujan tiba. “Senang mas setelah diperbaiki sama pemerintah jadi lebih aman saat bekerja,” ujarnya.
Mengenai risiko pekerjaan sebagai pemulung. Perempuan paruh baya ini, sedikit sedih menceritakannya. “Pernah ketemu dengan ular hidup mas, lalu kaki kena tusuk sate atau kait besi kalau saya tidak hati-hati,” ucapnya. “Ularnya dibuang dalam karung, jadi kalau kita ga hati-hati bisa kena gigit mas, kan bahaya,” tambahnya.
Selain bahaya itu dia bercerita bahwa juga kebakaran menjadi momok yang sangat menakutkan. Mengingat TPA penuh dengan sampah, membuat api cepat membesar dan susah dipadamkan. “Pernah sampai seminggu rasanya mas, mobil pemadam mesti madamin api,” ceritanya lagi tentang risiko sebagai pemulung.
Kemudian mengenai pengalaman pertamanya saat menjadi pemulung di sini. Sunarmi mengingat bahwa ia merasa sangat mual seperti mau muntah. Bau sampah pun dia bisa cium dari Jalan Bypass Ngurah Rai yang cukup jauh lokasinya. “Pokoknya kalau tiap habis dari kampung balik ke sini, dari jalan besar sana saya tetap saja merasa aneh nyium baunya, nanti sampai di sini sudah terbiasa lagi,” ceritanya.
“Bahkan kalau ada pemulung pemula mas mereka bisa muntah dan tidak mau makan seharian karena nyium bau sampah di TPA. Pokoknya berat mas tantangan mulung di TPA sini,” imbuhnya lagi.
Selain mencium bau sampah, Sunarmi juga menceritakan bahwa bau bangkai hewan seperti bangkai kucing, anjing bahkan babi menjadi kebiasaan untuk dilihat. “Ditambah sampah popok bayi yang dibuang dalam kantong kresek lebih bau lagi,” ujarnya. “Senjata utama masker biar gak terlalu nyium baunya mas,” tambahnya lagi.
Mengenai kejadian yang paling mengerikan, Sunarmi lanjut bercerita bahwa resiko bisa tersenggol alat berat yang bekerja di TPA, karena sama-sama tidak sengaja akhirnya bisa tersenggol. “Di sini kita mesti hati-hati mas, waspada sekali,” ucapnya. “Itu kan tidak kesengajaan ya mas karena alat berat kan memang bekerja di sana. Jadi sebagai pemulunglah mesti lebih waspada, biar gak kesenggol,”
Mengenai kasus terkena alat berat, dia bercerita bahwa ada rekannya dulu bernama Regan mengalami kasus seperti itu. “Syukurnya Pak Regan selamat walau cedera di pinggulnya. Dia kini pun kabarnya sudah bisa kerja di tempat kapal, itu sih saya dengar kabarnya mas,” cerita Sunarmi mengingat sedikit kejadian itu.
Ditanya mengenai kerjaannya membersihkan plastik yang bisa berisi kotoran, perempuan asal Probolinggo ini tersenyum. “Iya pakai tangan saja mas bersihinnya, tapi tangannya dipakain sarung biar aman,” pungkasnya. (habis)