28.7 C
Denpasar
Sunday, April 2, 2023

Lolik Jadi Petani Gonda, Belum Berpikir Balik Kerja di Kapal Pesiar

TABANAN, BALI EXPRESS-Komang Lolik,32, benar-benar lagi keranjingan menjadi petani Gonda. Apalagi gulma yang dijadikan sayuran itu, sudah memberikannya celah ekonomi. Di kala dia harus berhenti sebagai pekerja kapal pesiar di Benua Amerika sejak pandemi Covid-19 mendera.

Sampai kini, belum terbersit dalam pikiran pemuda Banjar Adat Menalun, Banjar Lodalang, Desa Kukuh, Marga, Tabanan ini, untuk balik bekerja di kapal pesiar. Meskipun beberapa pekerja migran sudah mulai mengurus administrasi untuk bisa balik bekerja ke sejumlah negara.

“Belum ada kepikiran sampai sekarang ini. Saya masih mencari-cari bagaimana caranya agar Gonda yang saya tanam ini bisa dipanen setiap hari. Kalau itu dapat, baru saya lepas (percayakan) ke orang lain. Kalau itu dapat, baru saya berangkat,” kata Lolik, sehabis merabuk Gonda yang dia tanam di lahan milik keluarganya, Kamis (1/7).

Lolik yang di masa awal pernah bekerja sebagai casino dealer atau bandar kasino di Singapura ini, mengaku lagi keranjingan dengan pekerjaan barunya ini. Meskipun penghasilan yang dia dapatkan dari menjual Gonda relatif jauh dari pendapatan sebagai seorang pekerja di kapal pesiar.

Terakhir, sewaktu di masih bekerja di kapal pesiar sebagai seorang waiter atau pramusaji, paling tidak dia bisa memperoleh enam sampai tujuh jutaan dalam sebulan. Itu sewaktu pandemi Covid-19 memaksanya pulang ke Bali pada Maret 2020 lalu. Waktu itu dia bertugas di kapal Carnival Cruise Line.

Sejak itu, Lolik nihil aktivitas. Sebulanan lamanya kebingungan mau melakukan aktivitas apa. Apalagi dari awal pandemi sampai dengan saat ini, dia tidak masuk kriteria penerima bantuan sosial atau bansos. Lantaran ayahnya seorang pensiunan polisi.

“Jadi, dari situ saya berpikir. Masak iya saya mesti begini terus tangannya. Pak bantuannya mana pak?” ujar Lolik seraya menumpuk kedua tangannya dalam posisi menengadah. Tanda meminta.

Baca Juga :  Imbauan Ridwan Kamil : Jangan Panik Beli Masker dan Sembako

Terlebih lagi, di saat yang sama dia bukan saja harus menghidupi istri dan kedua orang anaknya, namun membantu kedua orang tuanya juga. “Dari pribadi, jiwa saya, pantang mengemis,” tegasnya lagi.

Sebulan menganggur, akhirnya dia mulai melirik kegiatan pertanian. Kebetulan keluarganya masih memiliki lahan sawah seluas 15 are. Meski lokasinya agak jauh dari rumah karena ada di perbatasan banjar.

Semula, dia bercocok tanam padi. Namun setelah menimbang-nimbang hasil yang diperoleh dibandingkan tenaga, waktu, dan biaya yang dikeluarkan, Lolik akhirnya meninggalkan padi dan melirik sayuran.

“Awalnya saya coba pada lahan paling bawah. Tapi gagal. Karena saya otodidak. Tidak punya acuan harus seperti apa menanamnya. Pembibitannya seperti apa. Tetapi saya coba terus pelan-pelan. Bahkan sampai sekarang masih sering gagal juga,” tutur pemuda yang sempat mengenyam pendidikan pariwisata di STP Nusa Dua ini.

Dia mulai total beralih dari padi ke Gonda saat memperoleh permintaan Gonda yang lumayan konsisten tiap hari. Akhirnya tanaman padi yang ada pada lahan di atasnya diganti dengan Gonda. Celah itu mulai muncul tiga bulan setelah dirinya menanam Gonda.

“Permintaannya lumayan. Terus diminta setiap hari. Akhirnya padi yang di lahan atas diganti. Ditanami Gonda,” sebutnya.

Menariknya, pada saat yang sama, pemuda kelahiran 1988 tetapi tidak ingat tanggal dan bulan kelahirannya ini, justru memperoleh tawaran bekerja di hotel kawasan Kuta. Namun, dia belum berminat menerima tawaran itu. “Karena ingin mandiri dulu,” ujarnya.

Apa karena sudah terbayang situasi pariwisata masih akan sulit? “Iya. Itu juga jadi pertimbangan. Belum lagi gaji di bawah upah minimum regional, sementara jam kerja seperti biasa. Antara delapan sampai sembilan jam,” imbuh Lolik.

Baca Juga :  Tak Kenal Lelah, TNI/Polri Solid Jaga Sidang Putusan MK

Di awal, saat mulai bercocok tanam Gonda, dia dan istrinya bisa menjual sayuran sampai 13 ikat untuk satu motor. Satu ikatnya dihargai Rp 10 ribu. Sayur itu dia jajakan di Pasar Belayu atau Mengwi pukul 04.00. Sepulang dari sana, mereka bisa memperoleh Rp 100 sampai Rp 150 ribu.

“Nggak lama. Sampai saya berpikir, enggal sajan. Begitu saya taruh, jajakan, nanti ada yang nyamperin. Biasanya bapak-bapak yang bawa pikap, yang mau ke Pasar Badung (yang membeli),” bebernya.

Kegiatan di pagi buta bersama istrinya itu dia lakukan selama satu setengah bulanan. Selepas itu, mulai ada langganan pengepul dari banjar tetangga yang datang langsung. “Sekarang sistem partai. Saya menargetkan ke pembelinya. Bedanya, dari segi waktu dan tenaga, saya tidak kewalahan lagi,” ujarnya.

Kenapa memilih Gonda? Lolik menyebutkan, dibandingkan sayuran lainnya, Gonda baginya jauh lebih mudah dijual. Karena sayuran lainnya masih berebut pasar. Semisal kangkung.

Selain itu, dibandingkan dengan sayuran lain, Gonda cepat dipanen. Paling cepat dua minggu sudah bisa dipanen. Paling tiga minggu. Meskipun dia mengakui Gonda punya karakter yang agak ruwet dibandingkan sayuran lainnya.

“Gonda itu kan gulma padi yang dijadikan sayuran. Konsekwensi gagalnya 70 persenan. Rentan juga. Kebanyakan air mati. Kekurangan air mati. Rewel,” katanya.

Belum lagi pengaruh lainnya, seperti kondisi cuaca, pengaruh angin, sirkulasi air. Namun baginya yang paling rumit adalah pada saat tahap pembibitan. Karena bibit mesti dia buat sendiri selama sebulan. “Kalau (bibit) kangkung kan bisa beli di toko,” imbuh Lolik.

Selama menanam Gonda, dia memanfaatkan pupuk organik. Memanfaatkan fermentasi kotoran ayam. Waktu fermentasinya bisa sebulanan. Dengan kata lain, sayuran yang dia tanam diperlakukan secara organik. 

 


TABANAN, BALI EXPRESS-Komang Lolik,32, benar-benar lagi keranjingan menjadi petani Gonda. Apalagi gulma yang dijadikan sayuran itu, sudah memberikannya celah ekonomi. Di kala dia harus berhenti sebagai pekerja kapal pesiar di Benua Amerika sejak pandemi Covid-19 mendera.

Sampai kini, belum terbersit dalam pikiran pemuda Banjar Adat Menalun, Banjar Lodalang, Desa Kukuh, Marga, Tabanan ini, untuk balik bekerja di kapal pesiar. Meskipun beberapa pekerja migran sudah mulai mengurus administrasi untuk bisa balik bekerja ke sejumlah negara.

“Belum ada kepikiran sampai sekarang ini. Saya masih mencari-cari bagaimana caranya agar Gonda yang saya tanam ini bisa dipanen setiap hari. Kalau itu dapat, baru saya lepas (percayakan) ke orang lain. Kalau itu dapat, baru saya berangkat,” kata Lolik, sehabis merabuk Gonda yang dia tanam di lahan milik keluarganya, Kamis (1/7).

Lolik yang di masa awal pernah bekerja sebagai casino dealer atau bandar kasino di Singapura ini, mengaku lagi keranjingan dengan pekerjaan barunya ini. Meskipun penghasilan yang dia dapatkan dari menjual Gonda relatif jauh dari pendapatan sebagai seorang pekerja di kapal pesiar.

Terakhir, sewaktu di masih bekerja di kapal pesiar sebagai seorang waiter atau pramusaji, paling tidak dia bisa memperoleh enam sampai tujuh jutaan dalam sebulan. Itu sewaktu pandemi Covid-19 memaksanya pulang ke Bali pada Maret 2020 lalu. Waktu itu dia bertugas di kapal Carnival Cruise Line.

Sejak itu, Lolik nihil aktivitas. Sebulanan lamanya kebingungan mau melakukan aktivitas apa. Apalagi dari awal pandemi sampai dengan saat ini, dia tidak masuk kriteria penerima bantuan sosial atau bansos. Lantaran ayahnya seorang pensiunan polisi.

“Jadi, dari situ saya berpikir. Masak iya saya mesti begini terus tangannya. Pak bantuannya mana pak?” ujar Lolik seraya menumpuk kedua tangannya dalam posisi menengadah. Tanda meminta.

Baca Juga :  Tiga Bulan Stok Sperma Sapi di Marga Kosong

Terlebih lagi, di saat yang sama dia bukan saja harus menghidupi istri dan kedua orang anaknya, namun membantu kedua orang tuanya juga. “Dari pribadi, jiwa saya, pantang mengemis,” tegasnya lagi.

Sebulan menganggur, akhirnya dia mulai melirik kegiatan pertanian. Kebetulan keluarganya masih memiliki lahan sawah seluas 15 are. Meski lokasinya agak jauh dari rumah karena ada di perbatasan banjar.

Semula, dia bercocok tanam padi. Namun setelah menimbang-nimbang hasil yang diperoleh dibandingkan tenaga, waktu, dan biaya yang dikeluarkan, Lolik akhirnya meninggalkan padi dan melirik sayuran.

“Awalnya saya coba pada lahan paling bawah. Tapi gagal. Karena saya otodidak. Tidak punya acuan harus seperti apa menanamnya. Pembibitannya seperti apa. Tetapi saya coba terus pelan-pelan. Bahkan sampai sekarang masih sering gagal juga,” tutur pemuda yang sempat mengenyam pendidikan pariwisata di STP Nusa Dua ini.

Dia mulai total beralih dari padi ke Gonda saat memperoleh permintaan Gonda yang lumayan konsisten tiap hari. Akhirnya tanaman padi yang ada pada lahan di atasnya diganti dengan Gonda. Celah itu mulai muncul tiga bulan setelah dirinya menanam Gonda.

“Permintaannya lumayan. Terus diminta setiap hari. Akhirnya padi yang di lahan atas diganti. Ditanami Gonda,” sebutnya.

Menariknya, pada saat yang sama, pemuda kelahiran 1988 tetapi tidak ingat tanggal dan bulan kelahirannya ini, justru memperoleh tawaran bekerja di hotel kawasan Kuta. Namun, dia belum berminat menerima tawaran itu. “Karena ingin mandiri dulu,” ujarnya.

Apa karena sudah terbayang situasi pariwisata masih akan sulit? “Iya. Itu juga jadi pertimbangan. Belum lagi gaji di bawah upah minimum regional, sementara jam kerja seperti biasa. Antara delapan sampai sembilan jam,” imbuh Lolik.

Baca Juga :  Nyeberang Mendadak, Nenek Meninggal Ditabrak Sepeda Motor di Marga

Di awal, saat mulai bercocok tanam Gonda, dia dan istrinya bisa menjual sayuran sampai 13 ikat untuk satu motor. Satu ikatnya dihargai Rp 10 ribu. Sayur itu dia jajakan di Pasar Belayu atau Mengwi pukul 04.00. Sepulang dari sana, mereka bisa memperoleh Rp 100 sampai Rp 150 ribu.

“Nggak lama. Sampai saya berpikir, enggal sajan. Begitu saya taruh, jajakan, nanti ada yang nyamperin. Biasanya bapak-bapak yang bawa pikap, yang mau ke Pasar Badung (yang membeli),” bebernya.

Kegiatan di pagi buta bersama istrinya itu dia lakukan selama satu setengah bulanan. Selepas itu, mulai ada langganan pengepul dari banjar tetangga yang datang langsung. “Sekarang sistem partai. Saya menargetkan ke pembelinya. Bedanya, dari segi waktu dan tenaga, saya tidak kewalahan lagi,” ujarnya.

Kenapa memilih Gonda? Lolik menyebutkan, dibandingkan sayuran lainnya, Gonda baginya jauh lebih mudah dijual. Karena sayuran lainnya masih berebut pasar. Semisal kangkung.

Selain itu, dibandingkan dengan sayuran lain, Gonda cepat dipanen. Paling cepat dua minggu sudah bisa dipanen. Paling tiga minggu. Meskipun dia mengakui Gonda punya karakter yang agak ruwet dibandingkan sayuran lainnya.

“Gonda itu kan gulma padi yang dijadikan sayuran. Konsekwensi gagalnya 70 persenan. Rentan juga. Kebanyakan air mati. Kekurangan air mati. Rewel,” katanya.

Belum lagi pengaruh lainnya, seperti kondisi cuaca, pengaruh angin, sirkulasi air. Namun baginya yang paling rumit adalah pada saat tahap pembibitan. Karena bibit mesti dia buat sendiri selama sebulan. “Kalau (bibit) kangkung kan bisa beli di toko,” imbuh Lolik.

Selama menanam Gonda, dia memanfaatkan pupuk organik. Memanfaatkan fermentasi kotoran ayam. Waktu fermentasinya bisa sebulanan. Dengan kata lain, sayuran yang dia tanam diperlakukan secara organik. 

 


Most Read

Artikel Terbaru