26.5 C
Denpasar
Saturday, June 3, 2023

Hidup Boleh Kepepet, Makan Tetap Mewah

“Jaen idup di desa  — Enak hidup di desa,” kata seorang teman, ketika suatu kali di masa pendemi saya berkunjung ke rumahnya di sebuah desa. Lha, ya. Kata teman itu; miskin boleh saja, tapi sombong itu wajib. “Bayangkan, pada saat kepepet, tak punya lauk-pauk, misalnya karena tabungan bocor, kita bisa potong ayam, potong bebek-angsa, bahkan tiba-tiba asyik guling kucit,” katanya. Sombong amat.
Rumah teman saya itu di tepi sawah, ia sebut pondokan. Tembok rumah masih batako telanjang tanpa plesteran. Lantai semen kasar yang sudah bolong di sejumlah sisi. Atapnya tetap genteng kualitas tinggi, tapi tanpa ada plafonnya. Jika angin sedang kencang-kencangnya, mata bisa sipenan alias mata perih diserbu debu. Tapi peliharaannya banyak. Ayam wara-wiri di halaman penuh rumput, dari ayam jago hingga betina berbagai bulu. Bebek lebih banyak lagi. Ada juga beberapa angsa dan dolong. Unggas itu dibiarkan berkeliaran, kadang masuk sawah, kadang masuk kamar dengan ceker masih belepotan lumpur,
“Pada saat kepepet seperti ini, aku hampir setiap hari makan ayam goreng. Kadang kalau banyak waktu, aku masak ayam betutu dengan bumbu gede, lebih enak dari betutu gilimanuk,” katanya. Nada bicaranya datar, seakan-akan semua yang diucapkan itu adalah hal-hal yang biasa dalam hidupnya. Sungguh, kalimatnya terdengar sombong, terutama ketika sebagian orang justru mengeluh akibat susah makan di masa pandemi ini.
Logikanya, pada saat kepepet saja dia makan ayam goreng, maka bisa diduga, ia mungkin makan babi guling setiap hari di saat-saat normal. Tapi, pada sisi unik kehidupan di desa, kadang logika normal tak bisa berlaku secara normal. Bahkan apa yang disebut normal, apa yang disebut kepepet, apa yang disebut kaya dan miskin, kadang tak bisa diterka dengan jelas.
Saya pernah kenal orang desa, punya sawah berhektar-hektar dan tegalan di sana-sini, isinya ratusan pohon kelapa, cengkeh, sengon, kayu jati, juga mangga dan durian. Tapi di dapur menu keluarganya tak pernah mewah, kadang hanya garam campur minyak tanusan dengan sedikit daun-daunan yang direbus. Jika keluar rumah, pakaian jarang diganti. Itu-itu saja. Kadang kaos partai yang itu-itu juga. Dia mungkin tipe orang hemat, mungkin uangnya ditabung untuk biaya sekolah anak-cucu di kemudian hari. Atau mungkin orang itu lebih bahagia punya tabungan  ketimbang punya mobil mewah. Mungkin ia lebih bahagia makan seadanya di dapur ketimbang sering tamasya dan makan enak di restoran. Atau mungkin juga orang itu memang pelit bahkan pelit untuk diri dan keluarganya.
Apakah orang semacam itu termasuk kaya atau miskin, bahagia atau menderita, siapa pun tak pernah tahu. Tapi di desa, kadang-kadang keingintahuan orang terhadap orang lainnya begitu tinggi, sehingga yang muncul kemudian lebih banyak gunjingan, gosip dan logika-logika aneh yang dicocok-cocokkan dengan fakta dan fiksi. Padahal, seperti kata teman saya yang tinggal di pondokan tepi sawah itu, enak hidup di desa. Kadang kalau kepepet tak punya uang, hampir setiap hari makan mewah. Tapi, tentu saja, itu tak berlaku bagi semua orang desa.
“Belakangan ini aku juga sering potong bebek. Kadang bikin bebek betutu, kadang dipanggang lalu disuir-suir campur sambal matah, kadang dimasak mirip-mirip masakan restoran di obyek wisata,” kata sang teman. Lho, kenapa begitu? “Restoran bebek pada tutup. Bebek-bebekku tak ada yang beli, jadinya aku potong saja satu persatu, daripada ngasi makan setiap hari,” jawabnya.
Dulu, sebelum pandemi dan pariwisata hingar bin bingar, bebek milik temanku itu dipasok hampir setiap hari ke restoran bebek, seperti bebek tepi kali, bebek tepi telabah, bebek tepi jurang, bebek ulagan, bebek lucutan dan restoran-restoran bebek lainnya. Saat itu, setiap hari ia sibuk mengurus bebek agar bebeknya tetap sehat dan segar sehingga punya harga mahal saat dijual ke restoran.
Tentu saja saat itu ia banyak uang. Tapi anehnya ia tak pernah makan masakan dari bebek. Ia kasihan memotong bebeknya, karena jika satu saja dipotong maka pemasukannya akan berkurang. Ia harus mengumpulkan duit, agar tembok rumahnya bisa diplester, lantainya bisa dikeramik, dan atap rumahnya bisa dipasangi plafon dari kayu kualitas tinggi. Jika pun harus makan agak mewah, ia biasanya cukup beli ikan asin, tempe atau tahu. Ia pelihara ayam dan bebek benar-benar untuk dijual, dan merasa bersalah jika sesekali harus memotong peliharaannya, misalnya karena harus bikin upacara di rumah atau karena kebetulan bebeknya mati akibat dengan tak sengaja terinjak sapi di pematang.
Apakah saat itu ia bahagia? Teman saya itu tak bisa menjawab. Menurutnya, semua terasa biasa-biasa saja. Tentu saja, sebagai orang desa, target hidupnya tak banyak. Kalau target tak tercapai, ia gampang memaafkan diri sendiri. Yang jelas, hidupnya harus dialirkan, apakah mengalir di air deras, air keruh, air jernih, air pertanian, air pariwisata, air industri, ia tak banyak hirau. Prinsipnya, ketika ada yang memerlukan bebek, ia jual bebek. Itu saja.
Tapi ketika restoran banyak tutup saat pandemi, ayam dan bebeknya tak terjual. Pada saat itulah uangnya terkikisa pelan-pelan, tabungannya bocor sedikit demi sedikit. Dan ketika uangnya benar-benar habis, dan hidup terasa kepepet, maka mulailah ia memotong ayam dan menyembelih bebek. Hidupnya terasa tak tergesa lagi. Bebek yang dulunya diberi makanan kemasan yang dibeli di toko agar bebek bisa besar secepat kilat, kini cukup diberi dagdag, potongan daun, nasi basi, dan lebih banyak dibiarkan cari makan sendiri di tengah sawah dan sungai. Ia tak punya ambisi agar bebeknya cepat besar. Hidupnya lebih santai, dan memu makanannya di dapur lebih mewah. Saya tak tahu bagian mana yang membuat hidupnya lebih berbahagia.
Saya jadi ingat dengan hidup saya di kota yang juga sering kepepet. Saat sibuk kerja di rumah hingga dinihari, kadang saya kepepet ingin makan karena perut amat lapar, sementara di dapur tak ada makanan. Hidup di kota, dapur kadang hanya pajangan. Kalau pun harus masak, menunya hanya cukup untuk makan malam, tak ada menu makan untuk dinihari. Jadi, saya keluar rumah, beli makanan jadi. Eh, dagang nasi jinggo yang murah-meriah sudah pada tutup. Yang ada hanya restoran padang dan sejumlah warung soto serta warung seafood.
Ya, mau bagaimana lagi, karena kepepet, saya terpaksa beli nasi padang, soto surabaya, atau kadang masakan laut semacam lobster, kepiting, dan ikan kerapu bakar. Harganya tentu saja jauh lebih mahal dari nasi jinggo atau nasi campur babi. Tapi, namanya juga kepepet, mau bagaimana lagi. Di desa, teman saya kepepet tak punya uang, sehingga terpaksa makan mewah. Saya di kota, kepepet makan mewah, sehingga terpaksa keluar uang lebih banyak. (*)

Baca Juga :  Belum Ditemukan Kasus Gagal Ginjal Akut, Warga Badung Diharap Tak Panik

“Jaen idup di desa  — Enak hidup di desa,” kata seorang teman, ketika suatu kali di masa pendemi saya berkunjung ke rumahnya di sebuah desa. Lha, ya. Kata teman itu; miskin boleh saja, tapi sombong itu wajib. “Bayangkan, pada saat kepepet, tak punya lauk-pauk, misalnya karena tabungan bocor, kita bisa potong ayam, potong bebek-angsa, bahkan tiba-tiba asyik guling kucit,” katanya. Sombong amat.
Rumah teman saya itu di tepi sawah, ia sebut pondokan. Tembok rumah masih batako telanjang tanpa plesteran. Lantai semen kasar yang sudah bolong di sejumlah sisi. Atapnya tetap genteng kualitas tinggi, tapi tanpa ada plafonnya. Jika angin sedang kencang-kencangnya, mata bisa sipenan alias mata perih diserbu debu. Tapi peliharaannya banyak. Ayam wara-wiri di halaman penuh rumput, dari ayam jago hingga betina berbagai bulu. Bebek lebih banyak lagi. Ada juga beberapa angsa dan dolong. Unggas itu dibiarkan berkeliaran, kadang masuk sawah, kadang masuk kamar dengan ceker masih belepotan lumpur,
“Pada saat kepepet seperti ini, aku hampir setiap hari makan ayam goreng. Kadang kalau banyak waktu, aku masak ayam betutu dengan bumbu gede, lebih enak dari betutu gilimanuk,” katanya. Nada bicaranya datar, seakan-akan semua yang diucapkan itu adalah hal-hal yang biasa dalam hidupnya. Sungguh, kalimatnya terdengar sombong, terutama ketika sebagian orang justru mengeluh akibat susah makan di masa pandemi ini.
Logikanya, pada saat kepepet saja dia makan ayam goreng, maka bisa diduga, ia mungkin makan babi guling setiap hari di saat-saat normal. Tapi, pada sisi unik kehidupan di desa, kadang logika normal tak bisa berlaku secara normal. Bahkan apa yang disebut normal, apa yang disebut kepepet, apa yang disebut kaya dan miskin, kadang tak bisa diterka dengan jelas.
Saya pernah kenal orang desa, punya sawah berhektar-hektar dan tegalan di sana-sini, isinya ratusan pohon kelapa, cengkeh, sengon, kayu jati, juga mangga dan durian. Tapi di dapur menu keluarganya tak pernah mewah, kadang hanya garam campur minyak tanusan dengan sedikit daun-daunan yang direbus. Jika keluar rumah, pakaian jarang diganti. Itu-itu saja. Kadang kaos partai yang itu-itu juga. Dia mungkin tipe orang hemat, mungkin uangnya ditabung untuk biaya sekolah anak-cucu di kemudian hari. Atau mungkin orang itu lebih bahagia punya tabungan  ketimbang punya mobil mewah. Mungkin ia lebih bahagia makan seadanya di dapur ketimbang sering tamasya dan makan enak di restoran. Atau mungkin juga orang itu memang pelit bahkan pelit untuk diri dan keluarganya.
Apakah orang semacam itu termasuk kaya atau miskin, bahagia atau menderita, siapa pun tak pernah tahu. Tapi di desa, kadang-kadang keingintahuan orang terhadap orang lainnya begitu tinggi, sehingga yang muncul kemudian lebih banyak gunjingan, gosip dan logika-logika aneh yang dicocok-cocokkan dengan fakta dan fiksi. Padahal, seperti kata teman saya yang tinggal di pondokan tepi sawah itu, enak hidup di desa. Kadang kalau kepepet tak punya uang, hampir setiap hari makan mewah. Tapi, tentu saja, itu tak berlaku bagi semua orang desa.
“Belakangan ini aku juga sering potong bebek. Kadang bikin bebek betutu, kadang dipanggang lalu disuir-suir campur sambal matah, kadang dimasak mirip-mirip masakan restoran di obyek wisata,” kata sang teman. Lho, kenapa begitu? “Restoran bebek pada tutup. Bebek-bebekku tak ada yang beli, jadinya aku potong saja satu persatu, daripada ngasi makan setiap hari,” jawabnya.
Dulu, sebelum pandemi dan pariwisata hingar bin bingar, bebek milik temanku itu dipasok hampir setiap hari ke restoran bebek, seperti bebek tepi kali, bebek tepi telabah, bebek tepi jurang, bebek ulagan, bebek lucutan dan restoran-restoran bebek lainnya. Saat itu, setiap hari ia sibuk mengurus bebek agar bebeknya tetap sehat dan segar sehingga punya harga mahal saat dijual ke restoran.
Tentu saja saat itu ia banyak uang. Tapi anehnya ia tak pernah makan masakan dari bebek. Ia kasihan memotong bebeknya, karena jika satu saja dipotong maka pemasukannya akan berkurang. Ia harus mengumpulkan duit, agar tembok rumahnya bisa diplester, lantainya bisa dikeramik, dan atap rumahnya bisa dipasangi plafon dari kayu kualitas tinggi. Jika pun harus makan agak mewah, ia biasanya cukup beli ikan asin, tempe atau tahu. Ia pelihara ayam dan bebek benar-benar untuk dijual, dan merasa bersalah jika sesekali harus memotong peliharaannya, misalnya karena harus bikin upacara di rumah atau karena kebetulan bebeknya mati akibat dengan tak sengaja terinjak sapi di pematang.
Apakah saat itu ia bahagia? Teman saya itu tak bisa menjawab. Menurutnya, semua terasa biasa-biasa saja. Tentu saja, sebagai orang desa, target hidupnya tak banyak. Kalau target tak tercapai, ia gampang memaafkan diri sendiri. Yang jelas, hidupnya harus dialirkan, apakah mengalir di air deras, air keruh, air jernih, air pertanian, air pariwisata, air industri, ia tak banyak hirau. Prinsipnya, ketika ada yang memerlukan bebek, ia jual bebek. Itu saja.
Tapi ketika restoran banyak tutup saat pandemi, ayam dan bebeknya tak terjual. Pada saat itulah uangnya terkikisa pelan-pelan, tabungannya bocor sedikit demi sedikit. Dan ketika uangnya benar-benar habis, dan hidup terasa kepepet, maka mulailah ia memotong ayam dan menyembelih bebek. Hidupnya terasa tak tergesa lagi. Bebek yang dulunya diberi makanan kemasan yang dibeli di toko agar bebek bisa besar secepat kilat, kini cukup diberi dagdag, potongan daun, nasi basi, dan lebih banyak dibiarkan cari makan sendiri di tengah sawah dan sungai. Ia tak punya ambisi agar bebeknya cepat besar. Hidupnya lebih santai, dan memu makanannya di dapur lebih mewah. Saya tak tahu bagian mana yang membuat hidupnya lebih berbahagia.
Saya jadi ingat dengan hidup saya di kota yang juga sering kepepet. Saat sibuk kerja di rumah hingga dinihari, kadang saya kepepet ingin makan karena perut amat lapar, sementara di dapur tak ada makanan. Hidup di kota, dapur kadang hanya pajangan. Kalau pun harus masak, menunya hanya cukup untuk makan malam, tak ada menu makan untuk dinihari. Jadi, saya keluar rumah, beli makanan jadi. Eh, dagang nasi jinggo yang murah-meriah sudah pada tutup. Yang ada hanya restoran padang dan sejumlah warung soto serta warung seafood.
Ya, mau bagaimana lagi, karena kepepet, saya terpaksa beli nasi padang, soto surabaya, atau kadang masakan laut semacam lobster, kepiting, dan ikan kerapu bakar. Harganya tentu saja jauh lebih mahal dari nasi jinggo atau nasi campur babi. Tapi, namanya juga kepepet, mau bagaimana lagi. Di desa, teman saya kepepet tak punya uang, sehingga terpaksa makan mewah. Saya di kota, kepepet makan mewah, sehingga terpaksa keluar uang lebih banyak. (*)

Baca Juga :  Perangkat Wifi Dua Kali Digasak Pencuri

Most Read

Artikel Terbaru