PADA suatu hari di sebuah kampung, di seputar Hari Raya Galungan, seorang suami dimarahi habis-habisan oleh istrinya gara-gara lawar. Bukan karena lawar yang dibuatnya tak enak, tapi justru karena lawar itu tak ada yang menyantapnya.
Ceritanya, pada hari penampahan, si suami membuat lawar, urutan dan timbungan dalam jumlah banyak. Namun, menu yang dibuat dengan menghabiskan banyak waktu itu tetap menumpuk di lemari dapur. Tak banyak yang menggubris dan mencoleknya, termasuk si suami. Selidik punya selidik, suaminya ternyata sehari-hari makan mie instan di warung dekat balai banjar. Si istri marah besar. Suaminya dijemput dengan paksa dan disuruh pulang untuk makan, persis seperti seorang ibu memaksa anak kecil yang ogah makan.
“Pulang, makan! Untuk apa kau bikin lawar, bikin urutan, bikin timbungan, tapi di warung kau makan mi instan!” kata sang istri.
Di kampung yang tak disebutkan namanya itu, cerita soal lawar itu menjadi cerita yang selalu diingat dan menjadi bahan guyonan pada setiap Hari Raya Galungan. Dan anehnya, banyak juga yang membela sang suami. Seseorang berkata: “Tak salah juga suami itu. Saya juga sering merasa mi instan terasa lebih enak dari jukut balung. Lawar dan makanan sejenis itu kini jadi seperti makanan biasa!”
Makanan biasa? Waduh, riwayat lawar pun jadi berubah. Dulu, jukut ares, jukut kuah nangka, pesan telengis, lawar bungkil gedebong, dan menu sejenis itu di Bali bukanlah makanan kebanyakan alias makanan kerakyatan. Ia adalah jenis makanan mewah. Salah satu ciri mewahnya, menu itu tak bisa diperoleh di sembarang tempat, sembarang situasi dan sembarang waktu. Maka ia langka. Karena langka, ia jadi mewah.
Jukut ares, lawar atau komoh, bukanlah makanan sehari-hari, bukan pula makanan rumah tangga yang biasa dibuat setiap hari. Siapa sih ibu rumah tangga atau bapak rumah tangga yang kodag bikin lawar dengan proses yang rumit itu setiap hari? Jika pun ada yang mau bikin menu itu saban hari, perut macam apa juga yang bisa diisi lawar dan jukut ares setiap hari?
Dulu, makanan jenis ares dan lawar hanya ada sesuai dengan desa kala patra. Sesuai tempat, waktu dan kondisi. Ia hanya dibuat pada hari-hari baik, misalnya saat orang menggelarupacara adat seperti penikahan dan potong gigi. Di tempat upacara, rakyat berpesta lawar dan jukut ares, atau menu apa pun yang mereka suka. Syaratnya: menu itu dibuat secara komunal, bersama-sama, mulai proses potong babi, parut kelapa, hingga mengadon berbagai bumbu.Maka, bolehlah dikatakan lawar dan jukut ares juga sebagai makanan pesta. Layaknya pesta, menu itu tak muncul setiap waktu, ia hanya muncul sewaktu-waktu.
Secara invidual, atau dalam skala rumah tangga, di luar tempat upacara pernikahan dan upacara adat lainnya, menu lawar dan jukut ares hanya muncul selama 6 bulan sekali sesuai hitungan kalender Bali atau sekali dalam 210 hari, yakni pada saat Hari Raya Galungan. Pada saat Galungan, setiap keluarga berpesta dengan menu makanan mewah. karena pada hari yang bahagia itu bapak, anak-anak, atau ibu rumah tangga, akan khusyuk melakukan proses pembuatan lawar, pesan, urutan, timbungan, komoh, atau jukut balung. Ada yang memarut kelapa, kupas lengkuas, iris bawang, ada yang mencincang daging, ada juga spesialis cicip-cicip.
Itu mungkin salah satu penyebab kenapa Hari Galungan, dulu, terasa lebih mewah dari hari-hari biasa. Hari itu benar-benar menjadi hari pesta pora kemenangan, meski pun daging babi tak jarang didapat dengan cara patungan yang boleh dibayar belakangan alias ngutang. Ciri sebuah pesta, ya, kulinernya. Tentu orang tak lupa bersembahyang di hari suci itu, namun kuliner tampaknya benar-benar harus diingat dan diwujudkan dengan segala daya upaya.
Kini, ketika bisnis kuliner merajalela, kuliner yang dulu mewah itu kini kehilangan kesan mewahnya. Menu lawar, pesan, urutan, timbungan, komoh, atau jukut balung, kini bisa diperoleh di mana-mana, di warung tepi jalan, rompyok di atas trotoar, bahkan di rumah makan mewah di tengah gemerlap objek wisata. Namun, lawar memang bisa dijumpai pada restoran megah, namun menu itu seperti kehilangan kemewahannya. Ia tak lagi jadi menu pesta sesuai desa kala patra.
Menu yang dulu langka itu bisa diperoleh kapan saja, asalkan punya duit. Karena ia jamak, maka ia bisa jadi menu primer. Lawar bukan lagi sebuah ketakjuban, bukan keistimewaan di hari tertentu. Kita bisa makan lawar setiap hari, tanpa harus melakukan proses rumit, potong babi atau parut kelapa, asalkan perut tak pernah mengeluh dan mengaduh. Soal duit bisa dicari. Di zaman ketika semua hal bisa diperoleh dengan duit, maka sesuatu yang dulu mewah kini bisa dianggap barang kebanyakan.
Di luar wacana soal ritual agama, ketika lawar dan jukut ares bukan lagi menu mewah di Hari Raya Galungan, maka hari raya yang datang 210 hari sekali itu bisa saja tak lagi dianggap istimewa dan perasaan yang muncul bukan perayaan pesta kemenangan. Ia bisa sama dengan hari biasa, dimana makanan wajib tak lagi menerbitkan air liur. Lawar memang tetap diadon, namun ia dimakan hanya untuk mengisi perut. Rasanya sama dengan menyantap mie instan yang bisa diperoleh di sembarang waktu.
Jadi, kalau dipikir-pikir, ketika lawar tak lagi jadi menu istimewa dan dirasa sangat monoton di Hari Raya Galungan, penting ada orang yang kreatif menciptakan menu baru berbahan daging babi di Bali. Mungkin cara membuatnya lebih rumit, lebih teoritis dan dramatis, agar tak bisa diciptakan dengan mudah di setiap hari. Mungkin dengan begitu, produk kuliner di Bali tetap menjadi produk budaya, yang lestari dan terus berkembang, bukan semata menjadi produk ekonomi. (*)