Terkait dengan eforia peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang diperingati secara serentak di Indonesia, 23 Juli kemarin, kali ini penulis akan menurunkan tulisan bernuansa anak juga.
Apabila kita membicarakan masalah anak seakan kita tak akan pernah kekurangan kata, kekurangan kolom, dan kekurangan ide. Mengingat kisah-kasih yang namanya anak itu, bagaikan samudra luas membentang dari ujung barat hingga ke ujung timur.
Di samping kita dihadapkan kepada hal-hal yang positif yang melekat pada diri si anak, banyak pula yang terbilang berkonotasi negatif, seperti terjadinya penganiayaan anak, kekerasan terhadap anak, sampai kepada masalah penculikan anak. Patut diakui bahwa anak itu adalah aset keluarga, aset bangsa, dan penerima estafet kelak di kemudian hari pada lingkup keluarga, masyarakat, juga bangsa dan negara.
Ada sebuah postingan mengenai jargon atau semboyan tentang anak terkait HAN 23 Juli 2020 yang berbunyi ‘Anak-anak Tidak Pernah Baik dalam Mendengarkan Orang yang Lebih Tua, Namun Anak-anak Tidak Pernah Gagal dalam Meniru Orang yang Lebih Tua’. Penulis (pemilik) semboyan ini adalah James Baldwin.
Andaikata penulis diminta tanggapan atas semboyan ini, segera akan mengatakan, bahwa semboyan ini benar adanya, namun kebenarannya tidak seratus persen. Kenapa? Karena dalam kenyataannya tidak semua anak ‘tidak pernah baik’ dalam mendengarkan orang yang lebih tua. Artinya, banyak pula anak yang mampu mendengarkan apa yang dikatakan orang yang lebih tua. Makanya, ada sebutan atau julukan bahwa anak X adalah anak yang penurut, dan anak Y adalah anak yang patuh pada orang tua atau orang yang lebih tua.
Begitu pula pada bagian lainnya yang menyebut anak ‘tidak pernah gagal dalam meniru orang lain’. Untuk menyebut anak yang sering gagal meniru orang yang lebih tua, contohnya segudang, amat banyak. Jika Anda kebetulan seorang guru yang membaca tulisan ini, tentu akan dapat merasakannya. Guru adalah sosok orang yang lebih tua daripada anak. Guru tugas pokoknya mengajar. Dalam mengajar itulah para guru sering jengkel dan mangkel gara-gara masih banyak anak yang gagal dalam meniru orang yang lebih tua (guru), dalam hal ini dirinya.
Tentang masalah (semboyan) yang dikemukakan James Baldwin, penulis tinggalkan saja dan akan beralih ke teori atau pandangan yang lain. Pada sebuah unggahan di internet (Wajibbaca.com, diunggah ‘Mama Pintar’, 17 Juni 2019), disebutkan ada ‘sembilan (9) kesalahan fatal saat menjadi orang tua’.
Setelah dilakukan analisis atau verifikasi secara internal, menurut penulis, ‘artikel’ ini boleh dibilang cukup menarik. Tentu saja tidak kesembilan poin tingkat kefatalan orang tua yang akan ulas di sini, mengingat keterbatasan kolom. Penulis tertarik hanya pada dua poin, yakni orang tua dikatakan melakukan kesalahan fatal pada aspek (1) selalu memenuhi permintaan anak, dan (3) menyekolahkan anak terlalu dini.
Pertama, orang tua selalu memenuhi permintaan anak. Merupakan sesuatu hal yang wajar manakala orang tua sayang atau bahkan sangat sayang pada si buah hati (anak). Dan, rasa sayang itu dapat diekspresikan melalui beberapa cara dan dalam bentuk fisik. Seperti contoh, tatkala menjelang hari raya tiba, semisal Galungan, anak menginginkan baju baru, juga ingin diajak jalan-jalan ke tempat rekreasi sehari setelah Galungan.
Kedua keinginan anak ini masih bisa dibilang wajar-wajar saja, dan anak-anak lain juga kebanyakan seperti itu. Sebagai wujud rasa kasih sayang terhadap anak, lalu orang tuanya, entah ayah atau ibu atau keduanya, berangkatlah mengajak anak ke sebuah toko atau pasar modern untuk membelikan anak itu baju.
Persoalan harga relatif, bisa mahal, agak mahal, atau bisa pula yang murah meriah. Begitu Galungan tiba, keesokan harinya, diajaklah si anak itu jalan-jalan ke sebuah objek wisata, sebut saja ‘Panorama Indah’. Keinginan si anak membeli baju sudah terpenuhi dan keinginan jalan-jalan sudah pula terpenuhi. Pada kondisi seperti itu, sekali lagi dapat dikatakan wajar-wajar saja, mengingat keinginan si anak sudah terpenuhi, begitu pula pihak orang tua merasa sangat senang melihat anaknya berbahagia, walau uang yang dipakainya sesungguhnya untuk keperluan yang lebih mendesak.
Keadaan akan menjadi lain, manakala anak bersangkutan tiba-tiba ingin dibelikan handphone (HP) android yang ada gambar dan aplikasi permainan. Dalam hati kecil orang tua sesungguhnya belum mampu membelikan barang yang diminta anak seharga tiga jutaan rupiah itu. Tapi, lantaran kelewat sayang pada anaknya yang mulai menginjak remaja itu, orang tuanya pun memenuhi permintaan si buah hati dengan jalan meminjam uang pada sebuah LPD.
Kemudian hari, keinginan si anak bertambah terus, perlu ini, perlu itu, dan sebagainya. Nah, apabila si orang tua itu masih memenuhi permintaan si anak, inilah yang dikatakan telah melakukan kesalahan fatal, karena eksesnya akan kelihatan ketika anak itu umurnya kian menanjak hingga dewasa. Jadi, anak akan menjadi manja.
Kedua, menyekolahkan anak terlalu dini. Di dunia ini tak ada yang bisa disebut orang tua yang tidak sayang kepada anaknya. Semua sayang, dan semua orang tua menginginkan agar anaknya kelak menjadi anak yang pintar, berbhakti, dan menjadi anak kebanggan keluarga.
Dalam hal pendidikan mereka (anak-anak), para orang tua banyak yang tidak sabaran untuk cepat-cepat bisa masuk sekolah. Malah ada yang sangat gigih memperjuangkan anaknya yang baru berumur 3,5 tahun agar bisa diterima di TK atau Taman Kanak-Kanak, selanjutnya setelah berumur 4,5 tahun agar bisa diterima di Sekolah Dasar (SD).
Dengan perjuangan yang gigih ditambah kasak-kusuk mendekati pihak-pihak penentu penerimaan peserta didik baru, akhirnya si anak berhasil masuk ke jenjang SD. Padahal, dilihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersangkutan belum boleh diterima di sekolah tersebut.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang ‘Sistem Pendidikan Nasional’ dinyatakan, bahwa anak yang boleh masuk SD, apabila sudah berumur 6 tahun, dan apabila sudah berumur 7 tahun yang bersangkutan wajib masuk sekolah SD. Yang terasa agak aneh, anak yang belum cukup umur itu bisa diterima di SD, apakah tidak ada teguran dari atasannya.
Tapi, yang namanya manusia lebih sering memilih cuek. Kalau toh ada pihak lain mengetahui kasus itu, ia lebih sering diam saja ketimbang mencari gara-gara. Malangnya lagi, kondisi faktual si anak sejatinya belum siap menerima pelajaran di SD. Ia masih ingin dan masih senang bermain-main dengan anak sebayanya.
Lantaran si anak itu dipaksa-paksa cepat sekolah, dan dari pihak si anak tidak berani menolak, akhirnya terjadilah sudah anak yang menurut istilah orang awam ‘matang dikarbit’. Artinya, ia dipaksa matang sebelum waktunya matang. Efek dari kondisi ini, dapat dibayangkan bahwa kehidupan anak nanti akan menjadi orang yang tidak percaya diri, selalu menunggu ‘perintah’ dari orang lain, terutama dari orang tuanya. Persoalannya akan bertambah runyam, jika salah satu atau kedua orang tuanya sudah tiada. (*)
*) Penulis adalah dosen Undiksha tahun 1976 – 2016