DENPASAR, BALI EXPRESS – Ke depan rencananya paket pariwisata Bali yang ditawarkan lebih berbasis pada experience atau pengalaman. Salah satunya dengan menyuguhkan lebih banyak wisata alam, agar kunjungan wisatawan tidak hanya berputar di wilayah Bali Selatan.
Dalam pelaksanaannya mendatang, diharapkan agar tidak mengeksploitasi alam yang justru dapat menyebabkan lingkungan menjadi rusak. “Tidak ada yang salah dengan pengembangan wisata alam, namun bagaimana pengelolaan tetap mempertahankan pengelolaan daya tarik wisata (DTW) alam yang ramah lingkungan, meminimalkan pembangunan fisik yang menyebabkan alih fungsi lahan secara besar-besaran,” jelas Dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana I Wayan Sarjana, Minggu (29/1).
Pria yang meraih gelar Doktor di Fakultas Pariwisata Universitas Udayana ini menyebutkan, seperti wilayah Kintamani yang ramai dikunjungi, merupakan contoh eksploitasi besar-besaran. Berjamurnya kedai kopi yang menjual pemandangan Gunung Batur, sehingga yang menikmati hanya wisatawan yang mampir ke kedai kopi yang bisa menikmati pemandangan. “Sebelumnya siapa pun melintas bisa menikmati. Untungnya dibangun pedestrian sekarang, tapi suasananya cenderung metropolis, suasana perdesaannya (alam) mulai bergeser,” kata dia.
Padahal, lanjutnya, kekuatan Kintamani yang berada di Kabupaten Bangli adalah wisata alam. Untuk antisipasi eksploitasi alam, pemerintah harus tegas mengatur dalam RDTR (Rencana Detail Tata Ruang). Pentingnya kebijakan pemerintah yang tegas untuk keselamatan alam.
Pemilik modal, bukan semata-mata mencari tempat strategis, tapi memperhatikan estetika dan keaslian lanskap agar kawasan tersebut tetap pada ciri khas saat diperkenalkan sebagai destinasi atau daya tarik wisata. “Setiap lokasi di Bali punya potensi, tergantung brand dan pengelolaan dengan menonjolkan karakteristik lingkungan alam yang unik. Bisnis pariwisata terkait pencitraan, jika citranya sebagai wisata alam, namun aktivitasnya wisata buatan, ini yang masalah, tidak ada trust dari wisatawan,” paparnya.
Sarjana mengungkapkan kadang ada pemilik modal hanya ikut-ikutan membangun daya tarik wisata dengan membangun tempat swafoto, ini bermasalah dengan pengembangan loyalitas wisatawan. Ada segmen wisatawan yang hanya mencari tempat unik untuk fotoan diupload di medsos, jadi mereka akan hadir sekali ke DTW dan tidak ada keinginan kembali lagi.